BANDUNG, MBInews.id – Pembahasan mengenai RUU Omnibus Law Cipta kerja belakangan ini marak dilakukan oleh berbagai kalangan di Indonesia. Kalangan yang berkepentingan seperti pemerintah, wakil rakyat, pengusaha, buruh maupun akademisi hampir tidak hentinya mencari solusi mujarab menurut versinya masing-masing. Dalam keteranganyah, minggu (5/4/2020)
Hal itu disampaikan Pengiat Malam Reboan (MMR) UIN SGD Bandung, M.yusuf Wibisono Menjelaskan Semangat diskursusnya lebih pada mencari titik temu dari berbagai kepentingan. Meskipun pencarian titik temu itu memunculkan dinamika sosial pro-kontra, Dinamika sosial ini dimungkinkan mempengaruhi keberlangsungan hidup berbangsa dan bernegara, terutama pada aspek perkembangan iklim ekonomi.
Mengingat di era globalisasi ini berbagai problem menyelimuti hampir semua negara. Keterlambatan dan ketidakpastian ekonomi global – akibat pendemi Covid 19 – sangat mempengaruhi nation building, terutama Indonesia. Tuturnya
Belum lagi angka terpapar dan kematian dampak dari pendemi Covid 19 semakin bertambah dan siap mengancam keberlangsungan kehidupan manusia di muka bumi. Lazimnya, momentum ini bisa menyadarkan seluruh elemen anak bangsa untuk bekerjasama mengatasi berbagai problem terutama ancaman keterpurukan ekonomi.
Dijelaskan dampak ini sangat berpengaruh pada masyarakat kalangan bawah (grassroot), yang sebagian dari mereka bekerja sebagai tenaga kerja (pekerja) di sektor manufaktur yang terkait langsung dengan para investor (pengusaha). Ungkap Yusuf
Secara sosio-historis, Menurut Yusuf selama ini dunia pendidikan di Indonesia kesannya kurang menyikapi secara serius tantangan dunia global dan modern. Terobosan Mendikbud Nadiem Makarim untuk mempercepat langkah maju menjadi perguruan tinggi berkelas dan dikenal di dunia, direspon positif oleh berbagai kalangan akademisi yang jengah melihat stagnasi laju perguruan tinggi di Indonesia.
Misalnya APTISI, mendukung program kebijakan menteri untuk mempermudah perijinan dalam pembukaan prodi baru pada PTS secara otonom, dengan tidak menggunakan birokrasi yang berbelit-belit dan panjang. Adapun dasar kemudahan pendirian program studi (prodi) bagi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS), apabila sebelumnya memperoleh akreditasi A dan B.
Untuk mengikuti arus perubahan dan kebutuhan akan link and match dengan industri, perguruan tinggi membutuhkan gerak cepat dan sikap adaptif dalam menyikapi pemenuhan kebutuhan mahasiswa. Kata Yusuf
Dikatakan Salah satunya adalah membuka program studi yang sesuai dengan perkembangan kemajuan dan kebutuhan lapangan pekerjaan. Pemerintah mendorong kemudahan tersebut, dengan dasar pijakannya adalah, Permendikbud No. 7 Tahun 2020 tentang Pendirian, Perubahan, Pembubaran Perguruan Tinggi Negeri, dan Pendirian, Perubahan, Pencabutan Izin Perguruan Tinggi Swasta.
Perguruan tinggi yang ada di daerah tidak harus selalu berkiblat pada perguruan tinggi di kota. Perguruan tinggi sudah seharusnya memberikan efek terhadap ekonomi daerah. Misalnyanya, apabila suatu daerah memiliki sumber daya sektor perikanan, maka bidang perikanannya di perguruan tinggi juga harus kuat berbasis perikanan. Demikian pula dengan kebutuhan industri lainnya yang terkait dengan kebutuhan masyarakat dan kebutuhan eksport.ucapnya
Bertolak dari beberapa pembahasan di atas, terdapat gambaran yang semakin jelas betapa pentingnya RUU Omnibus Law Cipta kerja untuk dijadikan Undang-Undang. Namun demikian, mengingat Indonesia menganut demokrasi Pancasila, seyogyanya memberi ruang dialog dan koreksi dari stakeholder dalam upaya mencari titik temu yang win-win solution.
Karena RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja merupakan “ijtihad” hukum untuk membuat solusi dari paradoks peraturan dan perundang-undangan di Indonesia yang selama ini menghambat investasi dan iklim perekonomian yang sehat. Dengan demikan, terdapat beberapa catatan penting dari pembahasan tersebut di atas, antara lain:
Pertama, berdasarkan data BPS yang dikutip oleh Kementerian Kooordinator Perekonomian (2020), bahwa Indonesia memiliki jumlah Pengangguran = 7,05 Juta; Angkatan Kerja Baru = 2,24 Juta; Setengah Penganggur = 8,14 Juta; Pekerja Paruh Waktu = 28,41 Juta; sehingga Total = 45,84 Juta (34,4%) Angkatan Kerja bekerja tidak penuh, ditambah dengan jumlah penduduk yang bekerja pada sektor informal sebanyak 70,49 juta orang (55,72% dari total penduduk yang bekerja). Inilah salah satu masalah penting yang diharapkan dapat diselesaikan dengan hadirnya Omnibus Law RUU Cipta kerja.
Kedua, dengan Omnibus Law Cipta kerja, masalah pengangguran (unemployment) dapat diatasi dengan cara menyediakan lapangan kerja yang lebih berkualitas. Lapangan kerja akan terbuka apabila ada kegiatan investasi pada sektor riil yang menghasilkan barang dan jasa. Ketika kegiatan investasi tidak dapat seluruhnya dilakukan oleh pemerintah (melalui belanja negara, pendirian BUMN, dll), maka cara lain yang bisa dilakukan adalah dengan memberikan kesempatan berinvestasi pada swasta (dalam dan luar negeri). Untuk menarik investasi swasta ini, perlu kemudahan-kemudahan, jaminan keamanan, jaminan keberlangsungan, dan iklim yang menguntungkan bagi investor.
Ketiga, Omnibus Law Cipta Kerja menekankan pada investasi yang lebih produktif dan berkualitas, baik investor yang berskala besar sampai yang kecil sekalipun. Dengan begitu diperlukan langkah-langkah strategis dari pemerintah untuk berlaku adil pada berbagai kelompok investor. Mengingat investasi tidak selalu harus dilakukan oleh investor yang besar. Investasi juga bisa dilakukan oleh kelompok UMKM. Dengan demikian, kemudahan berinvestasi juga diharapkan akan berdampak pada tumbuhnya UMKM, sehingga rasio jumlah wirausaha berbanding jumlah penduduk bisa lebih ditingkatkan.
Keempat, Omnibus Law Cipta kerja merupakan suatu Undang-Undang yang dibuat untuk lebih mempermudah investasi, termasuk diantaranya adalah investasi bidang pendidikan. Dalam RUU Omnibus Cipta kerja Pasal 432 ayat 1, disebutkan;
“Lembaga pendidikan asing yang terakreditasi atau yang diakui di negaranya dapat menyelenggarakan pendidikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”,
Dilanjutkan dengan Pasal 433 yang mempermudah proses pendiriannya, yaitu kewajiban kampus asing itu hanya: (1) memperoleh izin pemerintah; (2) berprinsip nirlaba; dan (3) mendukung kepentingan nasional.
Kelima, Mendikbud Nadiem Makarim, menangkap RUU tersebut dengan menghadirkan Kampus Merdeka yang didukung empat program utama, antara lain adalah; (1) Kemudahan membuka program studi baru, (2) Perubahan sistem akreditasi kampus, (3) Kemudahan status kampus menjadi badan hukum, dan (4) Harapan yang hendak dicapai adalah, melahirkan mahasiswa yang lebih kreatif dan siap menghadapi lapangan kerja ketika dia lulus. Mahasiswa akan siap menghadapi segala tantangan dunia usaha, dan sigap untuk mengisi segala bentuk lapangan kerja yang tersedia. Selain itu, mahasiswa juga dipersiapkan menjadi peneliti yang inovatif, diakui dunia, namun juga dapat menyelesaikan permasalahan lokal, sekaligus menjadi seorang entrepreneur yang mampu menciptakan lapangan pekerjaan bagi dirinya sendiri maupun orang lain.
Alhasil, melibatkan semua yang berkepentingan (stakeholder) dan para pakar dalam menyusun regulasi Omnibus Law Cipta kerja, merupakan langkah bijak demi kepentingan bersama dalam menyehatkan iklim perekonomian menuju kesejahteraan sosial di Indonesia.pungkas Yusuf