BANDUNG, MBInews.id – Munculnya RUU Omnibus Law telah melahirkan kegelisahan pada kalangan masyarakat tertentu yang merasa akan terdampak secara langsung oleh produk undang-undang yang sedang dirancang oleh pemerintah. Ruang-ruang kritis hadir dengan menakar ulang kembali tujuan dari omnibus law cipta lapangan kerja yang di dalamnya bersinggungan kepentingan antara kelompok pengusaha dan masyarakat.
Disampaikan peneliti forum kajian literasi , informasi, sosial dan budaya ( FKLISB) Rully k. Anwar Omnibus Law atau Omnibus Bill berasal dari kata Latin omnibus yang berarti untuk semuanya. Omnibus Bill ini adalah “Sebuah rancangan undang-undang di hadapan badan legislatif yang berisi lebih dari satu masalah substantif, atau beberapa masalah kecil yang telah digabungkan menjadi satu RUU, seolah-olah demi kenyamanan.” (Audrey O’Brien, House of Commons: Procedure and Practice, 2009). Kata Rully dalam.keteranganyah ke mbinews.id, Minggu,(5/4/2020)
Tampaknya omnibus law sebagai sebuah konsep peraturan undang-undang memiliki kegunaan untuk menyederhanakan serta merapikan setiap peraturan yang disharmoni sehingga setiap peraturan terlihat padat dan jelas. Kata Rully
Menurutnya Omnibus Law mensyaratkan adanya pihak yang mengajukan. Dalam hal ini, yang mengajukan adalah pemerintah. Secara umum, arti pemerintah ialah pelaksanaan administrasi Negara yang dikepalai oleh presiden yang dibantu pejabat, pegawai negeri, baik sipil maupun militer (Terence Lee, dalam jurnal Conflict, Security & Development, 2020).
Sedangkan dari segi wewenangnya mencakup beberapa bidang: (1) Diplomatik: menyelenggarakan hubungan diplomatik dengan negara-negara lainnya. (2) Administratif: melaksanakan peraturan serta perundang-undangan dalam administrasi negara. (3) Militer: mengatur angkatan bersenjata, menjaga keamanan negara dan melakukan perang bila di dalam keadaan yang mendukung. (4) Legislatif: membuat undang-undang bersama dewan perwakilan. (5) Yudikatif: memberikan grasi dan amnesti (Richard Ball, dalam jurnal Modern Law Review, 2020).
Rully menguraikan Di sini, pemerintahan pusat memang berfungsi sebagai pemerintahan umum (algemene bestuur). Yaitu, “suatu sistem pemerintahan yang dilakukan secara terpadu dan terintegrasi oleh suatu perangkat pemerintahan yang memiliki kewenangan secara terpusat, baik dalam masalah kebijakan maupun dalam masalah pelaksanaannya.” (Sumitro Maskun, Otonomi Daerah Peluang dan Tantangan, 2003).
Oleh karena itu, pemerintahan umum merupakan suatu sistem yang dikembangkan dalam rangka memelihara eksistensi negara dan memelihara persatuan dan kesatuan seluruh elemen pemerintahan melalui sistem birokrasi yang sentralistik, dekonsentris, dan desentralistik, melalui standarisasi yang rasional dan mendasarkan pada kepentingan negara tersebut.
Untuk penyelenggaraan pemerintahan umum itu, pemerintah pusat mempunyai wewenang. Artinya, secara yuridis, pengertian wewenang adalah kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum terhadap apa yang akan dilakukan oleh subjek hukum.
Pengertian wewenang menurut H.D. Stoud adalah: “Bevoegheid wet kan worden omscrevenals het geheel van bestuurechttelijke bevoegdheden door publiekrechtelijke rechtssubjecten in het bestuurechttelijke rechtsverkeer” (wewenang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintah oleh subjek hukum publik dalam hukum publik) (Kartikosari & Sesung, dalam Jurnal Panorama Hukum, 2019).
Saat ini pemerintah Indonesia sedang menyusun Omnibus Law dengan tujuan untuk mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi nasional yang memiliki tiga hal sebagai sasaran pemerintah yakni, UU perpajakan, cipta lapangan kerja dan pemberdayaan UMKM. Sejauh ini pemerintah telah menyisir 74 Undang-Undang yang akan terkena dampak dari Omnibus Law.
Indonesia bukan negara pertama yang membuat konsep omnibus law tersebut, ada Negara-negara yang sudah terlebih dahulu merumuskannya seperti Irlandia, Amerika, Kanada, Suriname, Inggris, Australia, Jerman, Vietnam, Filipina, Malaysia, Turki, Kamboja, dan Singapura. Dan negara yang menerapkan konsep omnibus law itu biasanya memakai sistem hukum dengan tradisi Anglo Saxon, yaitu common law, berbeda dengan Indonesia yang menerapkan sistem hukum civil law.
Dari segi konsep omnibus law memang bermanfaat untuk penyederhanaan serta memadatkan produk-produk hukum, akan tetapi yang lebih penting dari itu adalah isi, pokok-produk hukumnya, Omnibus Law RUU Cipta Kerja di Indonesia secara substansi dapat dikatakan ramah dengan investor, karena tujuan omnibus law cipta lapangan kerja adalah untuk memacu pertumbuhan ekonomi.
Tercatat oleh kemenko perekonomian RI (2020) terdapat pengangguran sebanyak 7,05 juta jiwa dan angkatan kerja baru setiap tahunya berkisar 2,24 juta jiwa ditambah setengah pengangguran dengan angka 8,14 juta jiwa serta pekerja paruh waktu dengan 28,41 juta jiwa. Jumlah tersebut menjadi permasalahan yang akan dituntaskan oleh Omnibus Law RUU Cipta Kerja ini dengan membawa tujuan menambah pertumbuhan ekonomi.
Omnibus Law RUU Cipta Kerja ini dinilai ramah terhadap investor tapi abai pada kepentingan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat. Seolah menjadi harapan bagi para elite namun menjadi sumber malapetaka bagi masyarakat pribumi. Hal tersebut dikarenakan kecenderungan dari substansi omnibus law yang dianggap menguntungkan bagi investor saja sehingga pada klaster tentang ketenagakerjaan menjadi salah satu pusat gugatan masyarakat terkhusus bagi kelompok masyarakat yang khawatir terugikan. Kemudian pada klaster tentang kawasan ekonomi ada anggapan bahwa pemerintah akan mendorong proses pembangunan industri dengan pembuatan infrastruktur dan mengutamakan pengadaan tanah agar cepat dikaplingi oleh investor, lagi-lagi persoalan investor selalu yang utama dibandingkan dengan kepentingan masyarakat.
Seolah-olah masyarakat hanya dicukupkan dengan menjadi pekerja saja, dan terus menerus menjadi sasaran pada proses yang kapitalistik. Semakin dipermudahnya bagi para investor untuk datang dan menanam modal nampaknya sebagai sebuah jalan mulus agar para pemilik modal akan datang dengan sendiri tanpa dicari-cari. Padahal tujuan dari hukum itu sendiri tidak boleh terlepas dari pembangunan dan harus berujung pada kesejahteraan masyarakat. Hukum harus berjalan beriringan dengan kepentingan masyarakat agar kebutuhannya dapat terakomodasi serta tercurahkan secara langsung.
Kesimpulan tentang RUU Omnibus Law di bidang Tenaga Kerja Asing (TKA) di antaranya seperti berikut. Pertama, RUU tersebut dapat memudahkan masuknya TKA ke Indonesia. Di sini terjadi penolakan. Namun demikian, masyarakat pun harus siap dengan gelombang kebebasan berusaha ini, sehingga semua bisa jalan sesuai dengan kehendak masing-masing, baik itu negara, pengusaha, maupun masyarakat lokal.
Kemudahan investasi untuk pihak luar negeri adalah lampu peringatan bagi masyarakat di dalam negeri. Ini mau tidak mau harus bisa dihadapi dengan legowo dan persiapan yang matang. Demikian agar Indonesia sendiri dapat maju bersama-sama dengan negara lain.
Kedua, kekurangan tenaga ahli dapat membuat suatu usaha menjadi tidak sesuai dengan rencana usahanya. Hal ini dapat menghambat. Oleh karena itu upaya RUU Cipta Kerja ini untuk menggenjot perekonomian nasional dengan cara memudahkan birokrasi investasi ini harus dihadapi dengan tangan terbuka. Upaya pemerintah dalam hal ini harus banyak dikontrol oleh masyarakat itu sendiri. Demikian sehingga RUU ini sesuai dengan tujuan hukumnya, yaitu kesejahteraan sosial atau pembangunan itu sendiri.
Penolakan dialamatkan pada RUU Omnibus Law ini salah satunya terkait dengan kelestarian lingkungan. Kekhawatiran itu terutama didasarkan pada asumsi bahwa dengan kurang ketatnya perundang-undangan yang menyangkut lingkungan untuk dunia usaha akan membawa pada kerusakan yang lebih fatal. Asumsi tersebut dapat dipatahkan jika saja supremasi hukum itu dijalankan. Walaupun terjadi perampingan payung hukum, namun apabila peraturan sekecil apapun itu dijalankan, maka akan terjaga juga lingkungan kita.
Disinyalir, dalam urusan hukum mengenai lingkungan, dengan adanya pemangkasan hukum pada RUU Omnibus Law, wewenang pemerintah, baik pusat maupun daerah akan terkurangi.
Sebetulnya, yang terjadi bukanlah penghapusan, tetapi perampingan atau peringkasan hukum. Banyak tidaknya jumlah hukum bukan jaminan untuk lestari tidaknya alam sekitar. Tetapi yang paling dipentingkan adalah tujuan hukum itu sendiri, ke manakah kita akan menuju dengan hukum tersebut.
Legitimasi hukum bagi masyarakat adalah jiwanya yang harus relevan dengan keberadaan masyarakat itu sendiri, yaitu kesejahteraan. Tujuan hukum itu memang sesuai dengan kodrat manusia itu sendiri, yaitu mencari kebahagiaan.
“Yang membedakannya adalah waktu pencapaian kebahagiaan itu sendiri, apakah mau sekarang dan di sini, atau di masa depan”
Oleh karena itu, yang diperlukan terhadap Omnibus Law ini bukanlah penolakan, tetapi kesiapan. Yaitu bahwa kita harus menghadapi perdagangan bebas, lalu lintas pekerja yang bebas, pengurusan usaha yang bebas, dan sejenisnya. Lalu lintas pekerja itu sudah kita lakukan mengingat TKI (Tenaga Kerja Indonesia) juga ada di mana-mana. Tinggal sekarang ini, apakah kita siap menghadapinya? Begitulah, Omnibus Law sebetulnya adalah warning terhadap kesiapan kita. Pungkasnya. (**)