Mbinews.id– Penetapan Upah Mininum Provinsi (UMP) oleh pemerintah provinsi Jawa Barat sebesar 8,51% atau sekitar Rp. 160.000/ bulan yang diputuskan gubernur beberapa waktu lalu dinilai sangat tidak layak dan merugikan buruh, karena berdasarkan survei tidak sebanding dengan tingkat KHL buruh saat ini.
Keputusan pemerintah dalam menetapkan UMP tersebut, mengacu pada PP No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan dan Surat Edaran Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker-RI): BM/308/BI.01.00/X/2019, tanggal 15 Oktober 2019 Perihal penyampaian data tingkat inflasi nasional dan pertumbuhan produk domestik bruto.
Menyikapi hal tersebut, Aliansi Buruh Jabar (ABJ) sepakat untuk menentukan sikap dengan mengadakan Focus Group Discussion (FGD), di hotel Andelir, Jl. Prof Eyckman 34, Bandung. Senin (11/11).
Ketua Aliansi Buruh Jabar, Ajat Sudrajat mengatakan pihaknya secara tegas menolak ditetapkanya UMP yang dinilai kurang relevan dan merugikan buruh.Pakar Hukum Universitas Parahyangan, Dr. Ida Susanti, SH. IL.M, menjadi salah satu narasumber specialis yang mengupas tuntas masalah tenaga kerja, selain dari unsur buruh maupun pihak kepolisian.
“Kami menolak tegas terkait UMP yang sudah terlanjur di tetapkan oleh pemerintah, semestinya harus dikaji dari semua aspek termasuk KHL buruh, jangan hanya standar wilayah yang jauh dari penyangga ibukota provinsi, ini akan terjadi ketimpangan sosial,” katanya.
Ajat mengaku kecewa, gubernur dinilai tidak memihak kepada buruh karena hanya mendahulukan kepentingan pemerintah, kata dia. Menurutnya, pihaknya tidak komitmen dengan program awal saat kampanye politik.
” Jelas, kami menaruh harapan besar untuk perubahan kesejahteraan buruh Jawa Barat, namun kenyataannya justru gubernur tidak pernah memihak kepentingan buruh, mana janjinya,” ujarnya.
Mengenai UMK 2020 yang akan ditetapkan, Ajat berharap gubernur Jawa Barat harus mampu memberi ketetapan yang bisa diharapkan buruh, kata Ajat. Bukan justru merugikan buruh dengan mengikuti aturan kementerian tenaga kerja.
” Kita tetap berharap UMK 2020 Jawa Barat bisa ditetapkan oleh gubernur dengan kongkrit dan relevan sesuai deadline paling akhir 21 Nopember 2019 ini. Jangan sampai kami buruh dikhianati,” tandas dia.
Lebih lanjut Ajat meminta, sebelum memutuskan UMK 2020 gubernur dimohon menerima rekomendasi kota/ kabupaten untuk di bahas dewan pengupahan.
“Jangan sampai ditolak, rekomendasi itu sebagai tolak ukur penetapan UMK 2020. Kerja sama Tripartit harus tetap di kedepankan, intinya jangan dhzolimi buruh,” tegas Ajat menyampaikan pada awak media.
Menanggapi rencana penurunan masa untuk aksi demo dalam menolak UMP, Ajat membantah, pihaknya tetap berupaya diplomatis dalam menyelesaikan persoalan.
” Ya, kami tetap konsisten dalam menyikapi persoalan UMP, namun kami juga memberi suport rekan kita yang turun kejalan, karena itu hak mereka, hak buruh.., namun kami ABJ tetap mengedepankan dialog untuk menjaga kondusifitas, akan tetapi tidak menutup kemungkinan, andai deadlock mungkin kami bisa jauh lebih besar untuk menurunkan masa,” jelas Ajat.
Sementara itu, Narasumber Kepolisian Panit Intelkam Bidang Sosial Budaya, PoldaJabar, Dedi Jhon mengatakan pihaknya mendukung buruh dalam langkah persuasif maupun dialog dalam menyelesaikan persoalan UMK.
“Saya setuju pada Aliansi Buruh untuk tidak demo dalam menyikapi persoalan, ini cara yang elegan dan saya salut untuk itu,” katanya.
Namun demikian, seandainya Aliansi Buruh Jawa Barat melakukan unjuk rasa, pihaknya tetap siap dalam melakukan pengaman untuk ketertiban.
“Apapun keadaaanya, kami sebagai aparat siap mengawal dan mengamankan buruh demi terwujudnya kondusifitas Jawa Barat,” tegas Jhon.
Acara Focus Group Discussion (FGD) diikuti oleh Seluruh anggota KSB Aliansi Buruh Jawa Barat meliputi SBSI’92, KSPN, FSPMI, GOBSI, FSPM, GASPERMINDO, PPMI, SPKEP-KSPI dan GARTEK SBSI. Menurut rencana kegiatan, berlangsung hingga Selasa, (12/11).*