Bandung || MBInews.id — Fraksi Partai Gerindra Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bandung memberikan pandangan umum terhadap empat usulan Raperda dari Propemperda Tahun 2025 Tahap II, dalam rapat paripurna yang digelar pada Selasa, 7 Oktober 2025.
Rapat paripurna ini dipimpin oleh Ketua DPRD Kota Bandung H. Asep Mulyadi, S.H., didampingi Wakil Ketua I DPRD Kota Bandung H. Toni Wijaya, S.E., S.H., Wakil Ketua II Dr. H. Edwin Senjaya, S.E., M.M., Wakil Ketua III Rieke Suryaningsih, S.H., serta dihadiri para Anggota DPRD Kota Bandung. Hadir dalam rapat paripurna itu, Wali Kota Bandung Muhammad Farhan, Sekda Kota Bandung Iskandar Zulkarnain, serta jajaran pimpinan OPD.
Keempat Raperda yang diusulkan tersebut yakni Raperda Kota Bandung tentang Grand Design Pembangunan Keluarga Kota Bandung Tahun 2025-2045, Raperda Kota Bandung tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 24 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan dan Penanganan Kesejahteraan Sosial, Raperda Kota Bandung tentang Ketertiban Umum, Ketentraman Masyarakat dan Pelindungan Masyarakat, serta Raperda Kota Bandung tentang Pencegahan dan Pengendalian Perilaku Seksual Beresiko dan Penyimpangan Seksual.
Pencegahan Perilaku Seksual Beriisiko
Fraksi Partai Gerindra memandang Raperda tentang Pencegahan dan Pengendalian Perilaku Seksual Berisiko dan Penyimpangan Seksual menjadi penting untuk disahkan. Terutama dengan jumlah usia produktif di Kota Bandung cukup banyak yang perlu diperhatikan secara serius.
Tren terkini dalam perilaku seksual remaja memberikan pesan yang beragam, di mana terdapat konsensus umum bahwa proporsi remaja terlibat dalam perilaku yang menempatkannya pada risiko kehamilan yang tidak diinginkan, HIV, dan infeksi menular seksual (IMS) masih tinggi, bahkan mungkin semakin meningkat setiap tahunnya.
Belum lagi, semakin banyaknya kasus penyimpangan seksual yang terjadi dan sangat memprihatinkan di Kota Bandung.
Oleh karena itu, pemangku kepentingan dan yang diberi amanah untuk menjalankan tugas pengendalian dan pencegahan perilaku seksual berisiko dan penyimpangan seksual di Kota Bandung akan dihadapkan pada dilema tentang bagaimana upaya pencegahan dan pengendalian, sekaligus membuat upaya program anteseden perilaku seksual berisiko tinggi dan penyimpangan seksual khususnya dapat dilakukan secara terintegrasi dan kolaboratif.
Ada banyak indikator pemicu terjadinya perilaku seksual berisiko dan penyimpangan seksual, seperti: kurangnya pengetahuan dan pendidikan seksual, faktos psikologis, faktor ekonomi, paparan konten pornografi, lingkungan dan pola asuh keluarga, trauma masa kecil, dan kurangnya iman kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Kondisi spesifik yang ada di Kota Bandung tentunya memerlukan perhatian untuk menjadi program utama dengan pemodelan spesifik yang kolaboratif lintas organisasi dan multi disiplin keilmuan pula.
Perlindungan Masyarakat
Berkenaan dengan Raperda tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum, Ketenteraman, dan Perlindungan Masyarakat, merupakan pembaharuan secara substantif dari perda sebelumnya seiring dengan dinamika kehidupan masyarakat Kota Bandung yang terus berubah cepat.
Penyelenggaraan ketertiban umum, ketenteraman, dan perlindungan masyarakat merupakan salah satu urusan pemerintahan wajib berkenaan dengan pelayanan dasar. Penyelenggaraannya dilakukan oleh Satpol PP melalui peran strategisnya memperkuat otonomi daerah dan pelayanan publik di daerah dengan membantu tercipta kepastian hukum dan memperlancar proses pembangunan di daerah.
Ketertiban umum dipahami sebagai manifestasi dari suatu keadaan damai dan merasa aman yang dijamin oleh keamanan kolektif sebagai kebutuhan dan syarat fundamental bagi suatu masyarakat manusia yang menyangkut keteraturan kehidupan bersama.
Ketika ketertiban umum bisa dicapai, maka ketenteraman dapat terwujud bila pemerintah daerah hadir melalui representasi Satpol PP untuk menjaga agar tidak ada orang atau sekelompok orang yang bertindak melampaui kehendak alamiahnya seperti ungkapan Thomas Hobbes, “homo homini lupus” atau manusia adalah serigala bagi manusia lain yang mengakibatkan “bellum omnium contra omnes” manusia menjadi lawan di antara sesama manusia.
Sedangkan perlindungan mengandung arti proses atau cara perbuatan melindungi sebagaimana dimanatkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara eksplisit berbunyi “melindungi segenap bangsa indonesia dan tumpah darah Indonesia”.
Kemampuan peran strategis Satpol PP dalam penegakan perda dan perkada, penyelenggaraan ketertiban umum, ketenteraman, dan perlindungan masyarakat perlu terus diupayakan peningkatan dari aspek kelembagaan dan sumber daya manusianya, sehingga tidak terjadi tumpang tindih dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya dengan institusi lainnya.
Terutama kejahatan terhadap ketertiban umum yang disebut kejahatan tanpa korban atau disebut pula “moralitas yang dilegislasikan” sebagai aktivitas yang dianggap ilegal karena melanggar moralitas umum.
Grand Design Pembangunan Keluarga
Raperda tentang Grand Design Pembangunan Keluarga Kota Bandung Tahun 2025-2045 yang dilakukan melalui 5 pilar, yaitu: pengendalian kuantitas penduduk, peningkatan kualitas penduduk, pembangunan keluarga, penataan persebaran, dan pengarahan mobilitas penduduk, serta penataan administrasi kependudukan merupakan permasalahan yang harus dihadapi tidak hanya oleh kota/kabupaten sebagai ibukota provinsi, namun juga menjadi persoalan provinsi, khususnya di pulau jawa dan sumatera.
Merujuk data konsolidasi bersih (DKB) Kemendagri, di dalam Kota Bandung dalam angka 2025, penduduk Kota Bandung berjumlah 2.591.763 jiwa dengan penduduk laki-laki dan perempuan berimbang jumlahnya 1.298.551 dan 1.293.212 jiwa yang mengalami pertumbuhan 0,91 persen setahun, rasio jenis kelamin 100,76, dan kepadatan penduduk per km2 sebanyak 15.111 jiwa.
Kondisi faktual yang beragam tersebut dalam besaran densitas penduduk membuat ketidakseimbangan distribusinya berpengaruh terhadap balanced growth of population di Kota Bandung bila ditambah perhitungan terserapnya sumber daya ekonomi dan sosial menjadi eksternalitas negatif memengaruhi kegiatan ekonomi, sosial, dan lingkungan, bahkan kelembagaan.
Tingginya laju pertumbuhan di Kota Bandung akan berdampak positif berupa penyediaan jumlah sumber daya manusia yang memadai, peluang permintaan terhadap barang dan jasa semakin tinggi, dan terkelolanya potensi sumber daya yang tersedia secara efektif di satu sisi.
Namun di sisi lainnya akan berdampak negatif dalam pembangunan, di mana penduduk selain sebagai subjek, juga sekaligus sebagai objek pembangunan yang berkorelasi terhadap pembangunan, apakah kesejahteraan penduduk dalam arti luas mengalami peningkatan atau tidak.
Pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali akan menimbulkan implikasi negatif terhadap hasil pembangunan, seperti gangguan lingkungan karena daya dukung alam tidak memadai dan tidak disesuaikan, jumlah penganggur semakin tinggi yang menambah kemiskinan dan menimbulkan permasalahan sosial lainnya, seperti tindak kriminal, gepeng, dsb., serta berbagai permasalahan multidimensional lainnya yang merugikan dan mengancam keberlanjutan pembangunan.
Kuantitas penduduk berbanding lurus dengan kualitasnya, di mana tingginya jumlah penduduk usia produktif di Kota Bandung tidak akan memberikan kontribusi terhadap pembangunan daerah, bila tidak diimbangi dengan kualitasnya.
Indikator penting bagi pembangunan berbasis people centre development (SDM) adalah kualitas penduduk, tidak hanya kualitas pada kesehatan dan membaiknya income per kapita saja, namun dalam jangka panjang adalah pendidikan dan keterampilan menjadi faktor dominan dalam pembangunan daerah.
Salah satu ukurannya adalah melihat ipm kota bandung sebesar 83,75 sebagai agregasi dari komponen usia harapan hidup 75,83 tahun, harapan lama sekolah 14,25 tahun, rata-rata lama sekolah 11,07 tahun, dan pengeluaran riil per kapita 18.795 rupiah. Data faktual di atas menunjukkan kondisi kemiskinan di Kota Bandung berada di bawah Rp614.707, dengan persentase penduduk miskin sebesar 3,87 persen, indeks kedalaman kemiskinan 0,60 dan indeks keparahan kemiskinan 0,14.
Tentunya kondisi tersebut menjadi perhatian dan pekerjaan kita bersama untuk meningkatkan kualitas penduduk di Kota Bandung. Salah satu upayanya adalah penguatan pembangunan keluarga, di mana keluarga sebagai unit terkecil masyarakat berperan dalam mengembangkan sumber daya manusia dan komponen utama dalam tumbuh kembang anak yang sejalan dengan fungsi-fungsi keluarga.
Tidak berfungsinya sistem keluarga secara baik terutama disebabkan oleh masih banyaknya keluarga yang hidup di bawah garis kemiskinan, kurang sejahtera, dan kurang memiliki ketahanan sosial, sehingga peran dan fungsi tidak bisa berjalan secara optimal, baik secara ekonomi, pendidikan, maupun kesehatan.
Setiap kondisi dan perubahan yang terjadi pada setiap penduduk, apakah fertilitas, mortalitas, ataupun mobilitas haruslah didukung oleh sistem data dan informasi kependudukan menjadi database kependudukan yang memiliki akurasi dan tingkat kepercayaan tinggi dengan pengelolaan sistem integratif sebagai data kependudukan yang andal, riil, dan mudah diakses oleh para pemangku kepentingan serta menjadi bagian dari decision support system.
Penanganan Kesejahteraan Sosial
Raperda tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 24 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Dan Penanganan Kesejahteraan Sosial sangat erat terkait dan beririsan dengan tiga Raperda di atas.
Fraksi Partai Gerindra melihat masih terdapat permasalahan dalam materi muatan penyelenggaraan kesejahteraan sosial di tingkat pusat dan daerah.
Pertama, akomodasi asas kesetaraan dan asas nondiskriminasi untuk menjelaskan parameter kriteria masalah sosial, potensi disharmoni dengan sistem jaminan sosial nasional, pekerja sosial, dan penyandang disabilitas.
Kedua, struktur hukum yang memerlukan penyelarasan dan kolaborasi pelaksanaan tanggungjawab dan wewenang pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
Ketiga, sarana dan prasarana terbatas dan masih terdapat permasalahan data terpadu kesejahteraan sosial. Keempat, pendanaan masih tergantung pada APBD, karena alokasi APBD prioritasnya untuk pembangunan sesuai dengan visi misi kepala daerah.
Dan kelima, budaya hukum yang masih rendah, di mana kemiskinan merupakan komoditas untuk memperoleh bansos dari pemerintah.
Oleh karena itu, diperlukan harmonisasi di antara berbagai potensi permasalahan di atas dan komitmen Pemerintah Kota Bandung dalam pelaksanaannya tentang penyelenggaraan dan penanganan kesejahteraan sosial dapat berjalan optimal dengan melibatkan partisipasi beragam komponen masyarakat dalam pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan kesejahteraan sosial di Kota Bandung.
Fraksi Partai Gerindra DPRD Kota Bandung berharap pandangan umum yang telah disampaikan ini memberikan dampak bagi kemaslahatan warga Kota Bandung. *red